Program Full Day School Mendikbud
Pro kontra wacana pelaksanaan teknis sekolah sehari penuh full day school yang digulirkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy terus dirasakan oleh orang tua wali murid.
Tujuan alasan manfaat full day school yang dikatakan oleh Mendikbud Muhadjir Effendi seperti informasi yang dilansir dari Kompasiana antara lain adalah membentuk karakter siswa sebagaimana yang diamanatkan pada Nawa Cita yang merupakan visi Presiden Joko Widodo.
Serta juga dalam rangka untuk supaya siswa bisa lebih fokus belajar, menghindarkan dari tawuran, kenakalan remaja, dan paham radikal.
Demikian dikatakan oleh Muhadjir saat melontarkan wacana full day school tersebut beberapa waktu lalu.
Pendidikan dasar dan menengah masih keteteran menghadapi pesatnya kemajuan zaman. Untuk membenahi karakter generasi muda, Mendikbud baru ini menyarankan agar sekolah negeri maupun swasta mulai menggunakan sistem full day school.
Menurutnya diperlukan restorasi pendidikan terutama pada level SD dan SMP karena pada tahap itulah karakter anak bisa terbentuk. Full day school dipandang mampu menjadi salah satu solusi untuk membangun generasi penerus berkualitas.
Rencana tersebut mengundang pro dan kontra di masyarakat. Pihak yang pro mengatakan bahwa dengan adanya full day school dapat membantu orang tua yang bekerja. Mereka dapat fokus bekerja, sementara kegiatan anak dapat terkontrol oleh sekolah. Saat ini memang banyak sekolah yang menawarkan kurikulum full day school,bahkan dalam bentuk sekolah berasrama (boarding school).
Kegiatan siswa selama 24 jam dipantau oleh pihak sekolah. Dan realitanya, banyak orang tua yang berminat untuk menyekolahkan anak ke boarding school walau harus membayar mahal. Pihak yang kontra berpandangan bahwa kegiatan full day school akan menambah beban guru dan siswa.
Guru bukan hanya mengurus murid-muridnya di sekolah, tapi juga memiliki suami, istri, atau anak yang harus diurus alias perlu diperhatikan. Kalau guru harus stand by di sekolah sampai sore, tentunya suami, istri, anak mereka akan protes.
Dengan kegiatan belajar yang tidak sampai sore saja, guru banyak yang pulang sore karena harus melaksanakan tugas lain, seperti menjadi wakil kepala sekolah, pembina ekstrakurikuler, wali kelas, atau menyusun administrasi pembelajaran.
Selain guru, siswa juga berpotensi mengalami kebosanan atau stres karena dikurung sepanjang hari di sekolah, apalagi kalau program yang dilaksanakan sekolah kurang menarik atau kurang variatif.
Waktu bermain anak juga menjadi berkurang. Untuk mengisi kegiatan belajar pasca belajar sekolah, anak juga belajar atau mengaji pada sore hari di TKA/TPA/ Madrasah Diniyah.
Dan ini adalah merupakan sebagian dari kelebihan kekurangan full day school.
Dalam konteks sosiologis, full day school dinilai menjauhkan siswa dari lingkungan bermainnya atau bersosialisasi dengan tetangganya. Hal ini dapat menimbulkan siswa merasa asing dengan lingkungan tempat tinggalnya, merasa minder, tidak mau bergaul, dan tertutup terhadap tetangganya walau di sekolah anak tersebut mungkin memiliki banyak teman.
Bagi sekolah yang memberlakukan sistem dua shift (belajar pagi dan siang), penerapan full day school tentunya akan menjadi kendala karena mereka mengalami keterbatasan tempat dan guru. Siswa yang jarak dari rumah ke sekolahnya jauh tentunya juga akan mengalami kendala karena dia sampai rumah bisa waktu maghrib. Hal ini tentunya menyebabkan kelelahan bagi anak.
Sebagian pakar pendidikan menilai bahwa rencana Mendikbud menerapkan full day school sebagai bentuk kekeliruan dalam menyikapi pendidikan dan persekolahan. Seolah-olah pendidikan identik dengan persekolahan, padahal pendidikan jauh lebih luas dari persekolahan. Pendidikan dapat dilakukan di rumah, sekolah, dan di lingkungan masyarakat. Dengan demikian, sekolah hanya menjadi salah satu unsur dalam pendidikan.
Banyak bukti empirik menunjukkan bahwa orang-orang sukses bukan hanya orang yang memiliki prestasi akademik yang baik di sekolah, tetapi yang memiliki keterampilan hidup (life skill)yang bagus. Penelitian yang dilakukan oleh Harvard University di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa kesuksesan seseorang hanya 20% ditentukan oleh hard skilldan 80% oleh soft skill.
Pemberlakuan full day school hanya akan menempatkan sekolah sebagai penjara bagi siswa dan membatasi mereka dalam melatih keterampilan hidup. Kebijakan penerapan full day scholljuga berpotensi tidak sinkron dengan kebijakan pemerintah daerah tertentu, misalnya di Kabupaten Purwakarta Jawa Barat, dimana kegiatan belajar siswa dimulai dari jam 06.00 sampai dengan 12.00.
Setelah itu, siswa pulang ke rumah membantu orang tua, memberikan makan binatang ternak, atau melakukan aktivitas lainnya. Berdasarkan hal tersebut, penerapan full day scholl tentunya harus mempertimbangkan berbagai hal, seperti kondisi sekolah yang beragam, kondisi guru, kondisi siswa, dan kebijakan daerah setempat. (kompasiana)
Tujuan alasan manfaat full day school yang dikatakan oleh Mendikbud Muhadjir Effendi seperti informasi yang dilansir dari Kompasiana antara lain adalah membentuk karakter siswa sebagaimana yang diamanatkan pada Nawa Cita yang merupakan visi Presiden Joko Widodo.
Serta juga dalam rangka untuk supaya siswa bisa lebih fokus belajar, menghindarkan dari tawuran, kenakalan remaja, dan paham radikal.
"Dengan sistem full day school ini, secara perlahan anak didik akan terbangun karakternya dan tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orangtua mereka masih belum pulang dari kerja,"
Demikian dikatakan oleh Muhadjir saat melontarkan wacana full day school tersebut beberapa waktu lalu.
Kontroversi Sekolah Sehari Penuh
Pendidikan dasar dan menengah masih keteteran menghadapi pesatnya kemajuan zaman. Untuk membenahi karakter generasi muda, Mendikbud baru ini menyarankan agar sekolah negeri maupun swasta mulai menggunakan sistem full day school.
Menurutnya diperlukan restorasi pendidikan terutama pada level SD dan SMP karena pada tahap itulah karakter anak bisa terbentuk. Full day school dipandang mampu menjadi salah satu solusi untuk membangun generasi penerus berkualitas.
Rencana tersebut mengundang pro dan kontra di masyarakat. Pihak yang pro mengatakan bahwa dengan adanya full day school dapat membantu orang tua yang bekerja. Mereka dapat fokus bekerja, sementara kegiatan anak dapat terkontrol oleh sekolah. Saat ini memang banyak sekolah yang menawarkan kurikulum full day school,bahkan dalam bentuk sekolah berasrama (boarding school).
Kegiatan siswa selama 24 jam dipantau oleh pihak sekolah. Dan realitanya, banyak orang tua yang berminat untuk menyekolahkan anak ke boarding school walau harus membayar mahal. Pihak yang kontra berpandangan bahwa kegiatan full day school akan menambah beban guru dan siswa.
Guru bukan hanya mengurus murid-muridnya di sekolah, tapi juga memiliki suami, istri, atau anak yang harus diurus alias perlu diperhatikan. Kalau guru harus stand by di sekolah sampai sore, tentunya suami, istri, anak mereka akan protes.
Dengan kegiatan belajar yang tidak sampai sore saja, guru banyak yang pulang sore karena harus melaksanakan tugas lain, seperti menjadi wakil kepala sekolah, pembina ekstrakurikuler, wali kelas, atau menyusun administrasi pembelajaran.
Selain guru, siswa juga berpotensi mengalami kebosanan atau stres karena dikurung sepanjang hari di sekolah, apalagi kalau program yang dilaksanakan sekolah kurang menarik atau kurang variatif.
Waktu bermain anak juga menjadi berkurang. Untuk mengisi kegiatan belajar pasca belajar sekolah, anak juga belajar atau mengaji pada sore hari di TKA/TPA/ Madrasah Diniyah.
Dan ini adalah merupakan sebagian dari kelebihan kekurangan full day school.
Dalam konteks sosiologis, full day school dinilai menjauhkan siswa dari lingkungan bermainnya atau bersosialisasi dengan tetangganya. Hal ini dapat menimbulkan siswa merasa asing dengan lingkungan tempat tinggalnya, merasa minder, tidak mau bergaul, dan tertutup terhadap tetangganya walau di sekolah anak tersebut mungkin memiliki banyak teman.
Bagi sekolah yang memberlakukan sistem dua shift (belajar pagi dan siang), penerapan full day school tentunya akan menjadi kendala karena mereka mengalami keterbatasan tempat dan guru. Siswa yang jarak dari rumah ke sekolahnya jauh tentunya juga akan mengalami kendala karena dia sampai rumah bisa waktu maghrib. Hal ini tentunya menyebabkan kelelahan bagi anak.
Sebagian pakar pendidikan menilai bahwa rencana Mendikbud menerapkan full day school sebagai bentuk kekeliruan dalam menyikapi pendidikan dan persekolahan. Seolah-olah pendidikan identik dengan persekolahan, padahal pendidikan jauh lebih luas dari persekolahan. Pendidikan dapat dilakukan di rumah, sekolah, dan di lingkungan masyarakat. Dengan demikian, sekolah hanya menjadi salah satu unsur dalam pendidikan.
Banyak bukti empirik menunjukkan bahwa orang-orang sukses bukan hanya orang yang memiliki prestasi akademik yang baik di sekolah, tetapi yang memiliki keterampilan hidup (life skill)yang bagus. Penelitian yang dilakukan oleh Harvard University di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa kesuksesan seseorang hanya 20% ditentukan oleh hard skilldan 80% oleh soft skill.
Pemberlakuan full day school hanya akan menempatkan sekolah sebagai penjara bagi siswa dan membatasi mereka dalam melatih keterampilan hidup. Kebijakan penerapan full day scholljuga berpotensi tidak sinkron dengan kebijakan pemerintah daerah tertentu, misalnya di Kabupaten Purwakarta Jawa Barat, dimana kegiatan belajar siswa dimulai dari jam 06.00 sampai dengan 12.00.
Setelah itu, siswa pulang ke rumah membantu orang tua, memberikan makan binatang ternak, atau melakukan aktivitas lainnya. Berdasarkan hal tersebut, penerapan full day scholl tentunya harus mempertimbangkan berbagai hal, seperti kondisi sekolah yang beragam, kondisi guru, kondisi siswa, dan kebijakan daerah setempat. (kompasiana)